Sabtu, 09 Desember 2017

Suara Batin

Masih sangat berkaitan dengan post sebelumnya mengenai keberanian dan ketakutan. Ternyata, artikel ini sudah tertulis kurang lebih 10 tahun yang lalu ketika usia masih kepala 3... hahaaaa, bayangkan betapa saya adalah pembelajar yang lamban. 
Tapi tak apa.. lebih baik lamban dan terus berjalan, ketimbang sudah puas dan berhenti.. (hahaaa, another Rationalization or Self Deception).

Anyway, judul asli artikel ini adalah Stillness Speak, terinspirasi judul bukunya Master Eckhart. Meskipun begitu, setelah dibaca-baca, rasanya lebih pas dengan judul baru "Suara Batin".

...

Diri yang kita kenali saat ini, Ego, justru membatasi kita dari ‘menjadi’ (Being) diri kita sendiri. Tidak percaya?
Untuk bisa ‘menjadi’ (Being) kita perlu sadar kalau kita 'di sini - saat ini'. Dengan demikian, kita perlu menanggalkan apapun yang mengganggu kesadaran kita 'di sini - saat ini'. Apa yang kita pikirkan, apa pengalaman dan apa kata orang tidaklah penting bagi kita menjadi diri kita. Sebaliknya, kita perlu lebih banyak merasakan. Merasakan sensasi indera yang muncul pada saat ini di tempat ini. 

Maka dengan demikian, Lupakan apa saja yang terlintas dalam pikiran kita, ‘apakah ini pantas?’, ‘apakah orang lain akan menangkap ini sebagai sesuatu yang baik?’, ‘apakah kita pantas merasakan ini?’, ‘apa yang orang lain pikirkan mengenai aku jika aku melakukan ini?’ dst. 

Saat ini Aku sedang mencoba melakukan terapi terhadap diri sendiri (eaaa kayak psikoterapist handal aja.. hehehe.. padahal jargonnya Psikologi untuk Anda bukan untuk saya). 

Iya..setelah 30 tahun lebih berlalu usiaku, baru aku sadar (jadi selama ini pingsan..) kalo Aku orang yang ‘tidak bebas’. Selalu ada ketakutan yang menyertaiku di setiap pagi (hhhh…bangun sekarang apa nanti aja ya?), di setiap pemilihan baju (pake baju ini keliatan gemuk, pake baju ini apalagi, terus pake baju yang ini udah gak muat..hehehe jadi emang gendut), di setiap langkah (pake kaki kanan atau kiri yaa?), di setiap belokan (belok kanan apa kiri, atau terus aja??), di setiap perhentian (di sini aja atau agak ke sana dikit ya?), pokoknya hampir di setiap proses pengambilan keputusan aku selalu merasa takut. Segala jenis rasa takut, mulai dari takut malu, takut mengecewakan orang lain, takut tidak punya teman, takut dianggap bodoh, takut dianggap tidak kompeten, takut dianggap tidak pantas, dan takut-takut yang lain.

Semakin hari, aku merasa perasaan takut ini sudah pada taraf mengganggu kestabilan emosi dan kepribadianku. Aku menjadi orang yang semakin jauh dari diriku yang sebenarnya karena rasa takut ini. Padahal kalau Aku ingat, ketika kecil, Aku adalah anak yang cukup ’berani’. Sering mengikuti lomba-lomba yang memberikan cukup banyak penghargaan. Mulai dari lomba menyanyi, membaca puisi, deklamasi, menari bahkan terakhir mendapat juara III membaca berita dari lomba presenter yang diselenggarakan oleh salah satu televisi swasta di Jakarta.

Lalu kenapa sekarang aku menjadi seperti sekarang?
Cenderung menarik diri, jarang mengeluarkan pendapat pribadi, menghindari konflik, takut muncul di depan umum, menghindari tugas-tugas yang akan memaksa berada di depan layar, lebih banyak memutuskan arus pembicaraan karena tidak tahu mau mengatakan apa, dst. 
Di usiaku 30 tahun, belum ada pencerahan (cieilee..bahasa Zen-nya: enlightening). [Di usiaku 41 tahun (2017), beberapa sedang dengan sadar kuatasi.] 

Eckhart Tolle (Stillness Speaks)  mengatakan: “You can value and care for things but whenever you get attached to them, you will know, that’s the ego. Whenever you accept the loss, you go beyond ego, and ‘I am’ emerges as it is consciously. Sometimes, let things go, is an act far greater power than defending or hanging on”.

"Menjaga dan merawat tidak sama dengan terikat dengan barang milik. Itu ego. Jika hilang, atau rusak, atau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kita mengarah melampaui ego, terutama jika 'itu saya' muncul dengan sadar. Terkadang membiarkan sesuatu berlalu lebih membutuhkan kekuatan ketimbang memegang atau menjaga dengan erat.


Ketika kita kehilangan sebuah barang yang menurut kita sangat berharga,
Bagaimanakah perasaan kita? Sedih..? Kecewa..? Galau..?
Kemudian apa yang kita lakukan? Mencari siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kehilangan tersebut..? Meninggalkan aktivitas apapun yang kita sedang kerjakan, atau paling tidak, kita tidak lagi berkonsentrasi terhadap aktivitas tersebut..?

Sekedar pertanyaan reflektif buat kita
’Apakah kita menjadi kita ‘yang kurang’ kalau barang tersebut tidak lagi bersama kita?’
’Apakah kemudian kita menjadi identik dengan barang tersebut?’

Jika aku bertanya, bagaimana perasaanmu ketika barang yang kamu sayangi hilang?
Pasti jawabannya adalah perasaan kehilangan yang tidak nyaman dan kadang-kadang bahkan sangat sentimentil terutama jika barang tersebut memiliki kelekatan emosional.
Sekarang bayangkan jika sesuatu yang melekat adalah harga diri kita. Jika kita dipermalukan, apakah itu mempengaruhi cara pandang kita? Jika kita mengecewakan orang lain, dan orang tersebut tidak lagi mau berteman dengan kita, apakah itu mempengaruhi harga diri kita? Jika kita dianggap tidak pantas dan dianggap bodoh, apakah itu mempengaruhi harga diri kita?
Apakah harga diri kita dipengaruhi oleh sesuatu yang ditentukan oleh orang-orang lain di luar diri kita?
Hal-hal itulah yang menimbulkan ketakutan pada diriku, intinya adalah Aku takut kehilangan rasa keberhargaan diri.

Tapi betulkah harga diri adalah sesuatu yang dimiliki? Sehingga kita amat takut kehilangan?
Harga diri atau ’Self Esteem’ menurut Maslow merupakan kebutuhan manusia yang menempati posisi keempat dalam bangunan hierarkinya. Ini menunjukkan bahwa inilah kebutuhan manusia yang cukup tinggi setelah kebutuhannya akan rasa aman dan rasa cinta. Tetapi kembali pertanyaan yang sama: ”Betulkah kita sudah memiliki harga diri?”
Sederhananya begini, kebutuhan dasar menurut Maslow adalah kebutuhan fisik. Jika kita sudah mendapatkan makanan apakah kemudian kita sudah bebas akan kebutuhan ini? Tentu saja tidak. Hari ini mungkin kita tidak lagi butuh makan, karena kita sudah makan. Tetapi besok hari, kebutuhan ini akan muncul lagi, begitu juga dengan keesokan harinya lagi. Kita tidak pernah betul-betul memenuhi kebutuhan kita akan makan. Padahal kebutuhan ini adalah kebutuhan paling dasar, apakah kemudian kita tidak maju-maju dan menginjak pada level kebutuhan kita yang berikutnya yaitu rasa aman? Dan bagaimana dengan cinta? Apakah kita betul-betul tidak pernah memiliki cinta?

Saya mencintai kamu. Kata ‘cinta’ disini merupakan kata kerja yang menunjukkan bahwa saya mau melakukan cinta terhadap kamu. Maka cinta di sini bukanlah dimiliki melainkan dilakukan. Kata cinta itu sendiri juga memiliki banyak konsekwensi dari keluarnya statement ini. Aku mencintai kamu, berarti aku mau melakukan..., ...., ... .

Salah kaprahnya adalah banyak orang menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang dimiliki seseorang. Inilah yang kemudian membuat banyak orang merasa sakit ketika orang yang dicintainya pergi, ketika ia dikhianati, ketika ia kehilangan apa yang dianggapnya sebagai cinta. Apa yang salah jika orang yang kita cintai ternyata lebih menyintai orang lain? Apakah kemudian kita tidak bisa lagi menyintainya? Tentu tidak. Kita masih tetap dapat melakukan banyak hal sebagai wujud cinta kita terhadapnya.
Tetapi kemudian kita berpikir, “tetapi aku tidak akan mendapatkan dirinya, lantas buat apa?”
Itu berarti bukan lagi cinta, melainkan ego yang berbicara. Aku cinta dia, agar diapun menyintai saya. Saya mau melakukan banyak hal untuknya sebagai wujud cinta saya, agar saya juga mendapatkan banyak hal sebagai gantinya. Bukankah ini hanyalah ajang perdagangan yang memperdagangkan cinta?

Ego tidak salah, tetapi sering tidak kita sadari. Ego mengidentikkan diri dengan kepemilikan. Jika kita memiliki banyak maka tanpa sadar Ego kita pun semakin besar. Jika kita tidak menyadari perilaku dan sikap kita maka kita bukanlah diri kita sepenuhnya.

The Joy of Being – Nikmatnya menjadi Diri Sendiri
Suatu saat ketika sedang merasakan sesuatu, tanyakan kepada diri kita apakah kita memang benar-benar merasakan apa yang kita rasakan, 
atau sebetulnya itu adalah apa yang kita pikirkan.

Jika kita pernah bertemu dengan seseorang yang mirip dengan seseorang pada masa lalu kita, seringkali muncul ’perasaan suka atau tidak suka’ terhadap orang tersebut. Padahal kita baru saja bertemu dengan orang ini. Terkadang bahkan kita tidak tahu alasan kita memiliki ‘perasaan’ tersebut. Coba perhatikan bahwa aku memberi tanda petik pada kata perasaan, karena sebetulnya itu bukanlah suara perasaan. Itu adalah suara pikiran kita. Kita seringkali tanpa sadar melekatkan pengalaman pribadi kita pada situasi atau orang tertentu. Orang yang baru saja kita temui ini mirip dengan seseorang yang memberikan pengalaman menyenangkan, maka kemudian tanpa sadar kita memberinya ’label’ bahwa orang ini adalah orang yang menyenangkan. Tanpa kita sadari bahwa yang kita sukai adalah apa yang kita pikirkan mengenai penampilan orang ini.

Hal yang sama juga terjadi jika orang yang baru ini mirip dengan seseorang yang dulunya pernah sangat menyakiti perasaan kita. Coba perhatikan bahwa tanpa sadar kita menempatkan perasaan sakit hati kita pada orang ini. Kita menjadi seolah-olah merasa bahwa ia betul-betul adalah orang yang tidak menyenangkan. Kasihan sekali bukan? Hanya karena ia mirip, bukan berarti ia sama dengan orang di masa lalu kita.
Ketika kita berpikiran bahwa dia adalah orang yang tidak menyenangkan, hal itu membuat kita berperilaku seperti kepada orang yang tidak kita sukai, alias perilaku yang tidak menyenangkan, maka orang tersebut pun akan bereaksi demikian, dan begitu seterusnya, kita betul-betul meyakini bahwa orang ini adalah betul-betul orang yang tidak menyenangkan.

Wow..Dan kita bersyukur bahwa kita merasa memiliki intuisi yang tajam yang mengetahui secara persis mengenai sifat dan sikap orang ’baru’ ini. Panjang sekali bukan perjalanan hubungan ini, tanpa kita sadari bahwa sesungguhnya yang kita rasa, bukan betul-betul yang kita rasa melainkan apa yang sebetulnya kita pikirkan.

Maka mulai sekarang menjadi sadarlah, Lia.
Sadari bahwa semua perasaan takutmu bukanlah ketakutanmu, melainkan ketakutan egomu.
Kamu tetaplah akan menjadi seorang Lia, dengan ataupun tanpa kekhawatiran-kekhawatiran itu. Selanjutnya, biarlah mengalir dan terbukalah pada segala kemungkinan yang terjadi.
Bangunlah, ketika kamu memang perlu bangun untuk melakukan aktivitas yang kamu pilih untuk lakukan.
Pilihlah baju yang akan membuat kamu nyaman dan percaya diri.
Berbeloklah ketika kamu memang mau pergi ke suatu tempat di salah satu ruas jalan.
Berhentilah ketika kamu lelah.


Intinya, mengalirlah dan menjadi merdekalah. 

#catatan_akhir_tahun_saiasilia_2017


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Article: Mari Bicara Stres

Stres bukanlah sesuatu yang sekedar 'kita lalui'.  Stres sesungguhnya adalah pengalaman fisiologis pada tubuh fisik kita. Saat ada ...