Selasa, 10 Maret 2015

Menjadi ibu yang keibuan (tanpa menjadi ibu-ibu yang main ibu-ibuan)

Sebagai ibu bekerja, rasanya wajar saja kalau urusan anak menjadi urusan yang tidak pernah kelar. Baru melewati tahap satu, muncul masalah baru. Sudah terlampaui, muncul lagi urusan baru. Itu masih jauh lebih baik, karena ada kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Lha yang banyak terjadi masalah muncul bertubi-tubi, tanpa kelihatan jalan keluar dan tahu kapan selesainya.

Terkait dengan masalah yang tidak pernah bosan datang, sekitar sebulan yang lalu, saya mendapatkan berita yang kurang menggembirakan paling tidak buat saya pribadi. Salah seorang mentor yang cukup banyak membimbing saya di dalam pekerjaan kantor mengundurkan diri dari posisinya sekarang dan mengajukan pensiun dini. Sedih, sekaligus ikut bahagia. Sedih karena artinya sosoknya tidak bisa lagi dengan mudah ditemui di tempat kerja. Seperti kehilangan keluarga saja rasanya. Meskipun demikian, saya ikut senang karena beliau akan memasuki tahapan baru dalam usianya yang tidak muda lagi. Saya pun yakin, keputusan yang beliau ambil bukanlah keputusan emosional dan pasti sudah dipikirkan dengan matang.

Sempat saya mengajaknya ngobrol mengenai keputusannya "meletakkan jabatan" yang cukup baik. Nyatanya, beliau mengatakan bahwa keputusan ini semata-mata untuk tetap membuatnya 'waras'. Sebagai ibu bekerja yang sudah bekerja kurang lebih 30 tahun, rasanya lumrah saja kalau beliau merasa lelah dengan intrik dan politik di kantor dan mengajukan 'pensiun dini'. Sebuah keputusan yang sempat saya rasa merupakan keputusan yang mudah, tapi ternyata beliau mengatakan bahwa langkah ini adalah 'leap of faith'. Dibutuhkan lompatan iman yang besar untuk dapat yakin dalam mengambil keputusan ini, Dan untuk seseorang sekaliber beliau pun, butuh setahun untuk menimbang-nimbang baik dan buruknya.

Beberapa malam yang lalu, saya baru menikmati Malam Teduh bersama adik tercinta. Malam Teduh adalah sebuah penampilan musik ringan musikalisasi puisi dari duo AriReda yang malam itu didampingi gitaris kondang Jubing Kristianto.
Malam inipun diskusi mengenai perjuangan seorang ibu bekerja kembali terangkat. Adik saya adalah juga seorang ibu bekerja yang meninggalkan anaknya dari pagi hingga malam pulang dari kantor. Pagi hari ketika berangkat, si anak belum bangun. Malam hari pulang kerja, anaknya bisa jadi sudah tidur. Lalu kapan ketemunya? yah.. banyak orang yang kemudian mengatasnamakan pengorbanan.
Tapi apa iya, harus demikian?

Saya sendiri adalah juga ibu bekerja. Tapi saya sangat bersyukur, karena waktu kerja saya di kantor yang sangat fleksibel. Itu juga salah satu alasan yang membuat saya masih bertahan di tempat saya sekarang yang cukup gonjang-ganjing ini. Meskipun demikian, beban kerja yang saat ini saya rasakan ternyata tidak terlalu ringan seperti yang lalu-lalu. Semakin hari, bebannya terasa semakin terasa.. yah, belum berat sampai tidak terangkat juga sih.. tapi mulai mengganggu tidur malam, dan hari-hari libur.

Beberapa kali saya harus mengerjakan tugas kantor di rumah ketika akhir pekan datang. Tentu saja, anak wedhok gak terima dong yah... "top..top.." sambil tangannya menghalangi saya untuk kembali ke meja makan yang untuk sementara saya jadikan meja kerja.

Yah.. siapa yang kuaat!! Tapi seperti alasan klise lainnya, saya ucapkan juga alasan ini... "Mama kerja dulu ya, Nak. Kan buat cari duit, buat beli susu..."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Article: Mari Bicara Stres

Stres bukanlah sesuatu yang sekedar 'kita lalui'.  Stres sesungguhnya adalah pengalaman fisiologis pada tubuh fisik kita. Saat ada ...