Hampir setiap minggu, Atha berenang di Cibubur. Memang terbukti kesaktian si "Naga Air" ini. Bayangkan sejak umur 3 tahun dia sudah berani masuk di kolam renang dalam tanpa ban.
Bukannya tanpa usaha lho.. Bahkan usaha ini melibatkan dua pihak, si anak dan kami orangtuanya. Usaha yang dilakukan si anak, tentu saja untuk memunculkan keberanian dan keinginannya mencoba. Sedangkan usaha yang kami lakukan sebagai orangtua adalah menahan diri kami. Kami sadar harus menyerahkan prosesnya kepada si anak.. Kapan dia mau, kapan dia coba, kapan dia takut, kapan dia lelah, kapan dia mau coba lagi, kapan dia mau coba yang lebih sulit dari sebelumnya, kapan dia merasa yakin dan mau mencoba tantangan yang lebih tinggi, dst.
Orangtua seringkali tidak sadar bahwa dia sedang mengambil alih peran tanggungjawab anak untuk belajar. Ketidaksadaran ini muncul pada orangtua yang merasa perlu memaksa atau mendorong anak dalam proses belajarnya. Bisa jadi mereka merasa si anak tidak akan mau belajar jika tidak ada dorongan motivasi dari orangtuanya. Namun demikian, perlu dipikirkan akibat negatif jangka panjang pemaksaan ini bagi anak. Perlu disadari bahwa anak akan menjadi tidak terlatih untuk mendengarkan dirinya sendiri. Mereka juga tidak lagi terbiasa untuk memiliki dorongan keingintahuan terhadap sesuatu.
Secara naluriah, semua anak sebetulnya memiliki keinginan yang sangat besar untuk belajar. Tidak ada satupun anak yang tidak suka belajar. Tidak ada satupun anak (normal) yang tidak punya keingintahuan. Semua ingin mereka ketahui, semua ingin mereka lihat, ingin mereka pegang, ingin mereka dengar, ingin mereka buat, ingin mereka lakukan. Semuanya.
Lihat saja bagaimana mereka bermain. Mereka akan mencobakan ide-idenya. Bagi kita yang sudah dewasa dan lupa rasanya menjadi anak, terkadang sulit melihat usaha coba-coba ini sebagai sebuah kerja keras bagi anak. Padahal menurut saya, pada saat inilah peran belajar mandiri dapat ditumbuhkan.
Ini sesuai yang dikatakan Piaget mengenai proses belajar anak dengan membangun pemahaman dan skema pengetahuan di kepalanya (ide constructivist). Piaget menelurkan teori belajar dari hasil pengamatannya terhadap perkembangan kemampuan berpikir anaknya sendiri.
Ide constructivist dari Piaget menjelaskan bahwa setiap anak menunjukkan kemampuan mereka membangun pemahaman sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Ini menunjukkan bahwa belajar merupakan hal yang alamiah. Nah, sekarang bagaimana dengan istilah pendidikan (education). Menurut KBBI daring,
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Maurice Craft, seorang Research Professor di Universitas Greenwich membuat pembedaan istilah Education [Pendidikan] (dalam Bass & Good, 2004).
Di dalam bukunya "Education for Diversity", Craft menjelaskan istilah Education yang dapat berasal dari kata:
- educare: to train; to mold [untuk melatih dan membentuk], dan
- educere: to lead out [untuk mengeluarkan (potensi, kemampuan, dan daya upaya)]
Mari kita mulai membahas lebih lanjut mengenai kedua istilah tersebut.
Menurut Craft istilah pertama, Educare memiliki konsekuensi arti (dalam Bass & Good, 2004). Artinya, belajar adalah untuk mempertahankan dan menurunkan pengetahuan dalam rangka membentuk anak sesuai dengan gambaran ideal orangtua. Dengan demikian, penekanan pada hasil menjadi konsekuensi memenuhi gambaran ideal orangtua. Akibatnya usaha-usaha belajar yang sekiranya akan memberikan hasil nilai yang bagus akan sangat dihargai orangtua. Mengikuti les tambahan, ikut try out ujian, menuntut anak belajar, dst.
Tampaknya pemahaman educare inilah yang terwakili dalam pengertian pendidikan dalam KBBI daring.
Istilah kedua Educere, adalah istilah yang berarti 'untuk mengeluarkan (potensi, kemampuan dan daya upaya, red)'. Pandangan educere ini peduli pada usaha mempersiapkan anak terhadap perubahan-perubahan yang selalu terjadi, memberikan kesempatan pada anak untuk belajar memecahkan masalah-masalah real yang kontekstual (yang belum terjadi dan mungkin bahkan belum diketahui). Dengan demikian, anak diharapkan dalam proses belajarnya banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan, baik pertanyaan reflektif maupun responsif terkait dengan sebuah masalah. Selain itu anak juga diharapkan memiliki kemandirian dalam berpikir dan berpendapat. Mereka dituntut untuk membangun logika berpikir yang terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan. Satu lagi, karena mereka disiapkan untuk siap di masa depannya, maka proses penciptaan dan kreasi pun tak luput menjadi penekanan.
Nah, kalau semua potensi, kemampuan, keinginan, daya upaya sudah ada dalam diri anak, lalu apa yang perlu dilakukan orangtua, dong? Lalu apa peran orangtua sebagai pendidik?
Jika di atas kita sudah membahas mengenai ide konstruktivistik dari Piaget, maka kita dapat membahasnya dengan ide konstruktivistik yang lain. Piaget percaya bahwa pengetahuan, pemahaman, keterampilan, kebisaan dapat dibangun dari diri individu anak sendiri.
Vygotsky (seorang psikolog Rusia) menambahkan bahwa ada area yang hanya dapat dicapai, jika anak 'dibantu' oleh orang lain yang lebih paham [more knowledge others]. Area perkembangan optimal (Zone of Proximal Development) anak dapat dicapai jika ada oranglain yang bersedia memberikan pendampingan, pembimbingan, dan penyertaan, terhadap anak.
Lalu apa syarat agar tercapai kemampuan optimal anak pada area ZPD?
MKO atau orang yang lebih paham dapat menerapkan sistem perancahan (scaffolding). Mirip seperti ketika membangun, kita membutuhkan 'bingkai pijakan' tempat bangunan dikerjakan.
Jika pijakan dibutuhkan untuk proses pembangunan, maka sama dengan peran MKO adalah untuk membantu anak membangun sendiri 'bangunan pemahamannya'. Pendidikan semestinya mengutamakan proses yang dilewati anak, ketimbang proses yang dilewati MKO. MKO disini bisa orangtua, bisa guru, bisa teman-teman yang sudah paham. Bukan, bukan untuk mereka semua..
Mari kita lihat kembali definisi pendidikan dari KBBI. Di situ dapat ditinjau bahwa upaya dan usaha pendidikan ditempatkan pada MKO. "...upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik." Dari tinjauan tersebut, kita bisa lihat bahwa definisi ini mengacu pada istilah pendidikan, educare, ketimbang educere; melatih dan membentuk, ketimbang mengeluarkan potensi anak. Meskipun demikian, Bass & Good meyakini perlunya keseimbangan penerapan educare dan educere dalam setiap aspek pendidikan formal anak.
Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah (rasanya) masih belum menjadi tempat belajar yang ideal. Para pendidik di sekolah masih berkutat pada bagaimana meningkatkan nilai-nilai ataupun kecepatan studi ketimbang memperhatikan pada proses educere. Sejarah sudah begitu banyak menunjukkan bahwa banyak dari orang sukses yang berhasil di masa tua padahal tidak berhasil di sekolahnya. Sebut saja Isaac Newton (penemu), Albert Einstein (ilmuwan), Michael Jordan (atlet Basket), Oprah Winfrey (pembawa acara), Walt Disney (pembangun brand Disney), Steve Jobs (pendiri Apple & Pixar), atau dari dalam negeri Bob Sadino (pengusaha),
Jika begitu banyak orang sukses yang gagal di sekolah, jangan-jangan sekolah yang tidak mampu melihat kelebihan orang-orang ini. Bisa dipahami karena memang konsep educare yang menjadi pegangan institusi pendidikan formal saat ini.
Saya bukannya anti sekolah. Sama sekali tidak. Tentu saja tidak. Saya adalah bagian dari hasil pendidikan saya di sekolah. Hanya saja, pendidikan anak, menjadi prioritas saya sebagai orangtua, Filosofi pendidikan dalam keluarga seperti apa yang sekiranya akan mengeluarkan potensi terbaiknya. Dengan demikian, artinya konsep educere menjadi kiblat saya.
Bass & Good (2004) menjelaskan dalam artikelnya bahwa anak yang bersekolah hanya untuk lulus tes tidak betul-betul siap menghadapi tantangan perubahan dunia. Dalam artikel tersebut juga dijelaskan bahwa keseimbangan peran educare dan educere sangat penting. Peran guru sebagai fasilitator bagi terjadinya proses belajar anak di sekolah perlu diberikan peran dan kebebasan yang cukup. Perubahan mindset dari mementingkan nilai menjadi mementingkan proses belajar perlu ditumbukan dalam diri guru.
Idealnya seluruh stakeholder pendidikan dan proses belajar anak ikut serta terlibat. Maka, selain perubahan dalam intitusi sekolah dan guru, mindset ini pun perlu dimiliki oleh institusi keluarga dan orangtua sebagai lembaga pendidikan non-formal. Orangtua perlu memahami bagaimana anaknya belajar, apa yang disukai anak, apa yang diminati dan menjadi bakatnya.
Untuk dapat menyeimbangkan peran kedua konsep education, maka dibutuhkan keterbukaan. Komunikasi dan pemahaman mengenai apa yang sedang dipelajari anak dapat menyumbang pada terjadinya keseimbangan. Selama anak tidak diberikan porsi mengambil keputusan, memilih, menimbang, menguji coba, coba salah, coba berhasil, coba gagal, coba lagi, coba lagi, maka proses belajar (sejatinya) tidak terjadi.
***
Referensi:
Bass, R.V & Good, J.W. (2004). Educare and Educere: Is a Balance Possible in the Educational System? Educational Forum, The, Vol.68; No.2; p161-168; Winter 2004. (retrieved: https://eric.ed.gov/?id=EJ724880, May 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar