"Berhentilah mengharapkan orang lain membuatmu bahagia. Kamu hanya akan menantinya seumur hidupmu dan kecewa" (Jeff Foster).
Just be happy, because nothing can make you happy. |
Para ilmuwan psikologi barat sudah merumuskan teori-teori mengenai kebahagiaan. Bapak Abe (Abraham Maslow) menyebutkan lima tangga kebutuhan yang dapat mengarahkan seseorang mencapai kebahagiaan. Dia mengatakan: "What a man can be, he must be." Apapun yang diinginkan seseorang untuk dia capai, pasti dapat dicapainya. Itulah yang dinamakan Aktualisasi Diri, level tertinggi dalam tangga kebutuhan Maslow.
Teori hierarki kebutuhan ini memang tidak keliru dalam mendefinisikan kebahagiaan, jika dilihat dalam konteks kepuasan hidup. Coba saja perhatikan kata: 'Apapun yang diinginkan seseorang...'
Berkaitan dengan filsafat Plato yang mengatakan bahwa Soul (Jiwa) terbagi menjadi tiga bagian, logistikon (logika), thymoeides (spirit) dan epithymetikon (appetite/ desire). Maka kebahagiaan jiwa terkait dengan terpenuhinya keinginan menjadi hanya pemenuhan salah satu peran soul, yaitu bagian yang terkait dengan appetite atau desire.
Pertanyaan selanjutnya dari ini, 'Bagaimana jika keinginanmu tidak tercapai?'
"Tentu saja aku tidak (atau belum bisa) bahagia."
Lalu betulkah bahagia harus beralasan?
Bagaimana bayi yang baru lahir dapat merasakan bahagia? Bagaimana bisa bahagia, jika mereka belum apa-apa? Belum jadi apa-apa. Belum punya apa-apa.
Jadi kapan bahagia dapat mulai diukur?
Bagaimana menjelaskan seorang tukang koran yang selalu tersenyum ketika mengantarkan koran, sedangkan di tempat lain ada seorang bapak parlente bermobil mewah, wajahnya sering terlihat ditekuk seperti sedang berpikir keras.
Maka di sinilah pandangan barat (menurut saya) masih belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Maka marilah kita mulai dengan melihat kedua
sudut pandang Ilmu Barat dan Timur mengenai kebahagiaan.
Pandangan Barat menganggap "More
is better".
Pandangan ini melihat
kebahagiaan dari apa yang sudah diperoleh,. Dan seberapa banyak perolehan itu. Sebagai
contoh, pekerjaan yang bergaji besar, kedudukan yang tinggi di tempat kerja, memiliki bawahan banyak,
merk jam tangan yang digunakan, berapa banyak negara yang sudah didatangi,
mobil atau pemilikan lain yang memiliki spec tinggi atau siapa saja orang-orang
terkenal yang sudah berfoto denganku.
Konsekwensi dari pandangan kebahagiaan ala Barat
di atas, adalah Kebahagiaan berorientasi ke luar. Selalu ada alasan
agar saya dapat bahagia. Misalnya saja, mendapatkan uang yang banyak dulu baru
saya bisa bahagia; Bisa keliling dunia dulu, setelah itu pasti saya dapat
berbahagia; atau bahkan alasan seperti Saya akan berbahagia jika sudah dapat
mengajak haji orangtua saya.
Alasan-alasan seperti ini tampaknya menjadi
alasan yang tepat untuk dapat membuat orang bahagia. Tetapi jika kita ulik
lagi, itu semua bukanlah essensi kebahagiaan. Jika mensyaratkan sesuatu, maka
kebahagiaan justru sulit datang dan menghampiri.
Lalu bagaimana pandangan Timur memandang kebahagiaan?
Mereka berprinsip "Less is better." Filosofi
Timur menganggap bahwa sumber dari segala kebahagiaan sudah ada di dalam diri
setiap manusia. Mereka tinggal perlu membangunkan kesadaran diri, bahwa
semua kelimpahan tersebut semestinya sudah mereka miliki.
Kesadaran diri menjadi kunci bagi munculnya
kebahagiaan. Maka menurut pandangan Timur, Kebahagiaan
berorientasi ke dalam. Mereka percaya bahwa tidak ada satu hal pun di luar
diri yang bertanggung jawab terhadap munculnya rasa bahagia. Semuanya sudah ada
di dalam, semuanya sudah tersedia, tinggal sekarang sadar atau tidakkah kita
untuk melihat itu semua.
Kesehatan yang cukup baik, adanya keluarga yang
dapat menemani, makanan dan rejeki yang cukup, punya pekerjaan yang cukup baik,
dapat bebas menuangkan pikiran dan perasaan, dapat bebas beribadah, ada rumah
tempat berteduh. Itu semua semestinya sudah cukup memberikan perasaan bersyukur
yang mengarah pada munculnya rasa bahagia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar