Beberapa kejadian dalam seminggu ini membuat saya sangat bersyukur dan ingin berbagi. Dan meskipun tidak ada yang menantang untuk #counting_the_blessing, (hehee, tidak minta ditantang juga sih), saya mau mengucap syukur.
Hari Sabtu sore kemarin kami pergi untuk mengantarkan papanya Atha ke stasiun Gambir untuk pulang ke Semarang. Kereta berangkat jam 17.00 tapi kami baru berangkat dari rumah di Jatiasih jam setengah empat. Sudah paham kalau hari Sabtu adalah hari macet seJakarta, tapi yah rencana berangkat jam 2, mundur ke jam 3, sampai akhirnya betul-betul jalan jam 15.30.
Kami hanya punya waktu satu setengah jam, ke arah Gambir di hari Sabtu sore. Mau marah atau kesal, sama siapa, dan buat apa, toh sudah terlanjur.
Betul saja, masuk tol dalam kota, jalan sudah merayap cenderung berhenti.. spontan kami mengambil tol Rawamangun yang mengarah ke Pramuka. Rencananya kami mengambil arah Senen melewati Salemba. Ternyata tidak berbeda dengan tol dalam kota, kendaraan berjalan sangat pelan.. sementara itu detak jantung saya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan. Jam pun rasanya tidak ada toleransi, terus saja bergulir tanpa ampun.
Jam 16.23 kami baru keluar di Rawamangun, ...daaan... kami salah mengambil belokan. Alih-alih belok kiri mengarah ke paseban, kami malah lurus mengambil jalan layang ke arah cempaka putih raya. Tidak masalah kalau kami tahu jalan.. masalahnya adalah suami orang Semarang sedangkan saya spatial-disorientasi kronis. Eyang Atha yang saat itu juga ada di dalam kendaraan, sebetulnya adalah "Ratu Jalanan" pada jamannya. Jaman sekarang, ternyata beliau kalah dengan pembangunan ibukota yang cukup masif sehingga mengurangi daya perseptualnya.
Jam 16.23 kami baru keluar di Rawamangun, ...daaan... kami salah mengambil belokan. Alih-alih belok kiri mengarah ke paseban, kami malah lurus mengambil jalan layang ke arah cempaka putih raya. Tidak masalah kalau kami tahu jalan.. masalahnya adalah suami orang Semarang sedangkan saya spatial-disorientasi kronis. Eyang Atha yang saat itu juga ada di dalam kendaraan, sebetulnya adalah "Ratu Jalanan" pada jamannya. Jaman sekarang, ternyata beliau kalah dengan pembangunan ibukota yang cukup masif sehingga mengurangi daya perseptualnya.
Kami terus berjalan pelan sambil melihat marka jalan yang dapat menunjukkan arah Senen. Kalau saya ingat lagi, reaksi kami masing-masing dalam kendaraan sangat unik, terutama eyang Atha. Begitu masuk di jalan tol yang merambat, beliau langsung saja mengeluarkan kalung rosario dan berdoa. Itu sebabnya ketika kami salah mengambil jalan dengan tidak berbelok, Eyang Atha sangat merasa bersalah, dan berulang-ulang kali mengucapkan penyesalannya.. Papa Atha, sempat merasa tidak yakin dan meminta saya menelpon PT KAI untuk memesan tiket baru untuk jadwal keberangkatan malam. Untung saja, beberapa kali mencoba tapi tidak tersambung. Kalau saya sendiri, seberapa besar saya berusaha menenangkan diri, saya tetap merasa tidak yakin dan mulai menyalahkan orang lain.
Beberapa kali saya merasa perlu untuk selalu mengingatkan diri saya sendiri menarik napas, mengeluarkan napas, menarik napas, mengeluarkan napas... begitu terus untuk membuat tenang dan lebih fokus.
Kembali ke jalan Cempaka Putih dan area Rawasari, kami teruskan perjalanan untuk paling tidak mengarah ke Senen. Karena sekali lagi, itu jalan yang kami tahu dapat mengarah ke Gambir. Sampai di belokkan Cempaka Putih Raya satu hal yang kami cari adalah Bajaj, karena jam saat itu sudah menunjukkan pukul 16.33. Dengan kondisi tidak ada yang tahu arah dan jalan yang agak padat, kami lebih percaya pada profesional jalanan.
Tidak lama kami lihat 3 bajaj kosong dan satu orang yang sempat saya ragukan seorang supir bajaj. Ternyata betul dia orangnya, jodoh kami. Tidak lama nego harga, si supir menyatakan sanggup mengantar kurang lebih 20 menit sampai Gambir, maka semua barang pun berpindahtempat.
Kami memutuskan untuk tetap mengikuti dan berjalan di belakang bajaj agar, jika betul tidak sampai tepat waktu, kami bisa mengantarkan ke sta.Senen untuk menunggu kereta malam. Hahaa, dasarnya saya, bajaj ke mana.. saya ke mana... hilanglah jejak itu bajaj.
Jalan sendiri-sendiri.. saya terus berdoa dan berharap papa Atha sampai tepat waktu.
Dan betul saja, jam 16.55, telpon berdering dan sudah ada di dalam kereta. Puji Tuhan!!
Hhhhh... sore yang melelahkan sekaligus ajaib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar