Yak, sejak Februari 2016 kemarin resmilah saya berpindah divisi. Dari akademik menjadi semi staff non-akademik. Semi, karena masih mengajar dan terlibat dengan kegiatan akademik seperti pengajaran, penelitian, dan pelayanan terhadap masyarakat.
Student Counselor atau Konselor mahasiswa, itu judulnya. Job desc-nya mirip dengan 'tempat sampah'. Kok tempat sampah? jelek banget permisalannya.. yah emang begitu.
Coba.. tempat, tempat apa yang dibutuhkan untuk membuang sesuatu yang jelek, dan mengganggu? Dibutuhkan tetapi sering tidak diingat kalau ada..? yaa... itulah Tempat sampah!
Boro-boro dirawat dan dijaga, seringkali malah jadi mirip sama isinya.. ya sampah.
Nah, berhubung itu yang disadari oleh kami para konselor. Makdarit, kami berusaha menjaga diri. Menjaga diri dengan hidup bersih. Bersih dari aura negatif yang seringkali terbawa oleh klien-klien kami. Transfer energi sebetulnya adalah hal yang wajar di dalam setiap relasi. Namun, lain lagi ketika relasi yang terbentuk bertemakan energi-energi negatif seperti amarah, kesedihan, kekecewaan, trauma, ketakutan. Tema-tema inilah yang biasanya mewarnai ruang konseling.
Pada saat kami memutuskan untuk bersedia menjadi 'tempat sampah', maka kami pun sudah perlu menyiapkan diri dengan segala konsekwensi ini.
Banyak yang merasa menjadi tempat curhatan orang itu mudah. Kan tinggal mendengarkan orang bercerita. Betul.
Saya sering kok, dimintai pendapat teman-teman saya. Mereka sering curhat ke saya dan minta nasihat saya.
Nah itu dia bedanya.
Bapak client-centered therapy, om Carl Rogers mengatakan bahwa setiap kita memiliki kapasitas untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Jadi dengan demikian buat apa tanya pendapat orang lain. Mereka sudah tahu. Mereka sudah paham. Tidak perlu lagi dinasihati dan diberi wejangan yang panjang kali lebar dan terasa membosankan. Tidak.. bukan itu yang mereka butuhkan. Mereka hanya butuh katarsis. Mereka butuh mengeluarkan gejolak, percikan emosi yang pada saat itu menutupi mata dan kesadaran mereka sendiri.
Begitu kita konselornya mampu berperan seperti cermin yang jernih. Mampu merefleksikan gambaran real diri mereka sendiri, maka tanpa ada kesulitan, insight akan mereka peroleh sendiri. Pemahaman terhadap pemecahan masalah yang saat itu terasa berat akan jelas muncul di kepala mereka.
Penerimaan. Itu kuncinya kata om Rogers. Jika kita mampu menunjukkan sikap penerimaan tanpa syarat (unconditional acceptance) maka klien akan mendapatkan pemahaman penuh mengenai diri mereka sendiri. Jalan keluarnya pun akan mereka peroleh sendiri. Mudah bukan...
Bukan!
Itu proses yang sama sekali tidak mudah. Bahkan dapat dikatakan bahwa proses ini seringkali memberikan rasa tidak nyaman, dapat muncul juga perasaan sakit hati karena penolakan yang selama ini sering diperoleh dari sekitar. Sudah sedemikian biasanya kita dengan rasa sakit dan tidak nyaman yang selama ini lebih sering kita rasakan, sehingga ketika proses konseling memberikan pencerahan dan release yang tidak biasa mereka alami, biasanya mereka akan kembali lagi kepada pola-pola lama yang biasa mereka dapatkan, yaitu penolakan dan ketidaknyamanan. Bukan karena tidak ingin terlepas, melainkan karena kondisi inilah yang paling mereka kenal.
Salah satu metafora yang sering saya gunakan untuk menunjukkan pengenalan terhadap diri sendiri yaitu proses pengenalan diri ibarat mengupas dan mengupas bawang bombay, satu lapis ke lapisan lebih dalam lagi memberikan kita bukannya rasa nyaman dan enak melainkan rasa pedih dan pedas di mata dan hidung. Seperti itu pulalah proses pengenalan diri.
Ego kita sudah sedemikian tebalnya sehingga ketika kita mengupas bawang bombay untuk mendapatkan intisari siapa diri kita sesungguhnya rasanya berat dan menyakitkan.
Tetapi percayalah, proses yang terasa tidak mengenakkan ini sesungguhnya sangat membantu kita menemukan jati diri kita yang sesungguhnya. Bukan yang selama ini dikatakan ayah ibu kita, bukan pula yang dikenal teman-teman kita, bukan juga yang dilihat guru kita di sekolah. Bukan seperti itu. Carilah lebih dalam siapa dirimu.
Virginia Satir seorang psikolog keluarga mengatakan bahwa dirimu bukanlah definisi yang dibuat orang-orang atas kamu.
So, define yourself. Who are you?
The aim of Life is to LIVE, and to Live means to be aware, joyously, drunkenly, serenely, divinely AWARE. ~ Henry Miller
Rabu, 07 September 2016
Langganan:
Postingan (Atom)
Article: Mari Bicara Stres
Stres bukanlah sesuatu yang sekedar 'kita lalui'. Stres sesungguhnya adalah pengalaman fisiologis pada tubuh fisik kita. Saat ada ...
-
" Berhentilah mengharapkan orang lain membuatmu bahagia. Kamu hanya akan menantinya seumur hidupmu dan kecewa" ( Jeff Foster). ...