Minggu, 10 Desember 2017

Review Buku: Mindshift - Mengatasi Hambatan dalam Belajar dan Menguak Potensi Tersembunyi

Penghujung tahun 2018 ini ingin saya isi dengan membaca dan menulis. Maka dua kegiatan ini dapat dijadikan satu dengan cara membuat ringkasan atau reviu buku. Maka buku pertama yang ingin dibuatkan ringkasannya adalah: "Mindshift" dari Barbara Oakley, PhD. Buku ini buku baru terbitan tahun 2017. Meskipun demikian, beberapa nama besar menuliskan dukungan mereka terhadap penerbitan buku ini.

Berikut ini adalah transkreasi dari reviu singkat salah satu perusahaan perdagangan elektronik multinasional Ama*on.
Mindshift mengungkap bagaimana kita dapat melampaui ide-ide kaku yang terikat stereotipe mengenai apa yang mungkin kita pelajari dan bagaimana kita menjadi yang kita pelajari tersebut. 
Buku ini menunjukkan pada kita bagaimana kita membuka dan mengembangkan talenta-talenta yang - tidak kita sadari - kita miliki, terlepas dari usia dan latar belakang kita. 
Kita kerap diberitahu untuk 'mengikuti passion kita', tetapi tidak itu saja, dalam buku ini, Dr. Barbara Oakley menunjukkan bagaimana kita dapat memperluas passion kita. 
Dr Oakley mengambil beberapa temuan terkait neurosains yang mengantarkan pada ide mengenai bakat dan kemampuan yang terbaru yang membantu pemahaman kita mengenai bagaimana kita dapat berubah. 

Yang dilihat sebagai karakter minus, seperti kurang kemampuan mengingat, ternyata disertai dengan kelebihan tersembunyi, seperti kreativitas yang baik. Buku mindshift ini membawa kita lebih dalam lagi kepada bagaimana manusia dapat berubah dan berkembang. Satu-satunya hambatan sebenarnya adalah pemahaman awal kita yang seringkali kaku. Tetapi dengan insight mental yang tepat, kita dapat mengakses potensi tersembunyi dan mencipatkan kesempatan baru (untuk apapun). 



Secara pribadi, saya tertarik untuk membuat blog yang mirip seperti postingan ini. Blog ini sudah launch sejak tahun 2010. Berikut penjelasan mengenai blog ini. Judulnya sama: Mindshift. Mungkin itu pula sebabnya saya ingin mengupas tentang konsep ini.

Baik, kita mulai yah. Buku ini terdiri dari 13 bab.
Bab 1, Bertransformasi.
Bab 2, Belajar bukan hanya mempelajari (Learning is not just Studying)
Bab 3, Mengubah Budaya: Sebuah Revolusi
Bab 4, Masa Lalu yang 'tidak bermanfaat', bisa jadi sebuah keuntungan (melewati pintu belakang untuk mencapai karir yang baru)
Bab 5, Menuliskan kembali aturan main: Nontraditional Learning
Bab 6, Singapore: Sebuah Negara yang Future-Ready
Bab 7, Menaikkan Educational Playing Field
Bab 8, Menghindari Kebuntuan karir
Bab 9, Runtuhnya Mimpi, membawa pada Mimpi yang baru.
Bab 10, Mengubah Krisis Paruh Baya ke Midlife Opportunity
Bab 11, Nilai manfaat MOOC dan Pembelajaran Online
Bab 12, Penyusunan MOOC
Bab 13, Mindshift and kelanjutannya.

Postingan selanjutnya akan membahas setiap bab.


***



Sabtu, 09 Desember 2017

Suara Batin

Masih sangat berkaitan dengan post sebelumnya mengenai keberanian dan ketakutan. Ternyata, artikel ini sudah tertulis kurang lebih 10 tahun yang lalu ketika usia masih kepala 3... hahaaaa, bayangkan betapa saya adalah pembelajar yang lamban. 
Tapi tak apa.. lebih baik lamban dan terus berjalan, ketimbang sudah puas dan berhenti.. (hahaaa, another Rationalization or Self Deception).

Anyway, judul asli artikel ini adalah Stillness Speak, terinspirasi judul bukunya Master Eckhart. Meskipun begitu, setelah dibaca-baca, rasanya lebih pas dengan judul baru "Suara Batin".

...

Diri yang kita kenali saat ini, Ego, justru membatasi kita dari ‘menjadi’ (Being) diri kita sendiri. Tidak percaya?
Untuk bisa ‘menjadi’ (Being) kita perlu sadar kalau kita 'di sini - saat ini'. Dengan demikian, kita perlu menanggalkan apapun yang mengganggu kesadaran kita 'di sini - saat ini'. Apa yang kita pikirkan, apa pengalaman dan apa kata orang tidaklah penting bagi kita menjadi diri kita. Sebaliknya, kita perlu lebih banyak merasakan. Merasakan sensasi indera yang muncul pada saat ini di tempat ini. 

Maka dengan demikian, Lupakan apa saja yang terlintas dalam pikiran kita, ‘apakah ini pantas?’, ‘apakah orang lain akan menangkap ini sebagai sesuatu yang baik?’, ‘apakah kita pantas merasakan ini?’, ‘apa yang orang lain pikirkan mengenai aku jika aku melakukan ini?’ dst. 

Saat ini Aku sedang mencoba melakukan terapi terhadap diri sendiri (eaaa kayak psikoterapist handal aja.. hehehe.. padahal jargonnya Psikologi untuk Anda bukan untuk saya). 

Iya..setelah 30 tahun lebih berlalu usiaku, baru aku sadar (jadi selama ini pingsan..) kalo Aku orang yang ‘tidak bebas’. Selalu ada ketakutan yang menyertaiku di setiap pagi (hhhh…bangun sekarang apa nanti aja ya?), di setiap pemilihan baju (pake baju ini keliatan gemuk, pake baju ini apalagi, terus pake baju yang ini udah gak muat..hehehe jadi emang gendut), di setiap langkah (pake kaki kanan atau kiri yaa?), di setiap belokan (belok kanan apa kiri, atau terus aja??), di setiap perhentian (di sini aja atau agak ke sana dikit ya?), pokoknya hampir di setiap proses pengambilan keputusan aku selalu merasa takut. Segala jenis rasa takut, mulai dari takut malu, takut mengecewakan orang lain, takut tidak punya teman, takut dianggap bodoh, takut dianggap tidak kompeten, takut dianggap tidak pantas, dan takut-takut yang lain.

Semakin hari, aku merasa perasaan takut ini sudah pada taraf mengganggu kestabilan emosi dan kepribadianku. Aku menjadi orang yang semakin jauh dari diriku yang sebenarnya karena rasa takut ini. Padahal kalau Aku ingat, ketika kecil, Aku adalah anak yang cukup ’berani’. Sering mengikuti lomba-lomba yang memberikan cukup banyak penghargaan. Mulai dari lomba menyanyi, membaca puisi, deklamasi, menari bahkan terakhir mendapat juara III membaca berita dari lomba presenter yang diselenggarakan oleh salah satu televisi swasta di Jakarta.

Lalu kenapa sekarang aku menjadi seperti sekarang?
Cenderung menarik diri, jarang mengeluarkan pendapat pribadi, menghindari konflik, takut muncul di depan umum, menghindari tugas-tugas yang akan memaksa berada di depan layar, lebih banyak memutuskan arus pembicaraan karena tidak tahu mau mengatakan apa, dst. 
Di usiaku 30 tahun, belum ada pencerahan (cieilee..bahasa Zen-nya: enlightening). [Di usiaku 41 tahun (2017), beberapa sedang dengan sadar kuatasi.] 

Eckhart Tolle (Stillness Speaks)  mengatakan: “You can value and care for things but whenever you get attached to them, you will know, that’s the ego. Whenever you accept the loss, you go beyond ego, and ‘I am’ emerges as it is consciously. Sometimes, let things go, is an act far greater power than defending or hanging on”.

"Menjaga dan merawat tidak sama dengan terikat dengan barang milik. Itu ego. Jika hilang, atau rusak, atau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kita mengarah melampaui ego, terutama jika 'itu saya' muncul dengan sadar. Terkadang membiarkan sesuatu berlalu lebih membutuhkan kekuatan ketimbang memegang atau menjaga dengan erat.


Ketika kita kehilangan sebuah barang yang menurut kita sangat berharga,
Bagaimanakah perasaan kita? Sedih..? Kecewa..? Galau..?
Kemudian apa yang kita lakukan? Mencari siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kehilangan tersebut..? Meninggalkan aktivitas apapun yang kita sedang kerjakan, atau paling tidak, kita tidak lagi berkonsentrasi terhadap aktivitas tersebut..?

Sekedar pertanyaan reflektif buat kita
’Apakah kita menjadi kita ‘yang kurang’ kalau barang tersebut tidak lagi bersama kita?’
’Apakah kemudian kita menjadi identik dengan barang tersebut?’

Jika aku bertanya, bagaimana perasaanmu ketika barang yang kamu sayangi hilang?
Pasti jawabannya adalah perasaan kehilangan yang tidak nyaman dan kadang-kadang bahkan sangat sentimentil terutama jika barang tersebut memiliki kelekatan emosional.
Sekarang bayangkan jika sesuatu yang melekat adalah harga diri kita. Jika kita dipermalukan, apakah itu mempengaruhi cara pandang kita? Jika kita mengecewakan orang lain, dan orang tersebut tidak lagi mau berteman dengan kita, apakah itu mempengaruhi harga diri kita? Jika kita dianggap tidak pantas dan dianggap bodoh, apakah itu mempengaruhi harga diri kita?
Apakah harga diri kita dipengaruhi oleh sesuatu yang ditentukan oleh orang-orang lain di luar diri kita?
Hal-hal itulah yang menimbulkan ketakutan pada diriku, intinya adalah Aku takut kehilangan rasa keberhargaan diri.

Tapi betulkah harga diri adalah sesuatu yang dimiliki? Sehingga kita amat takut kehilangan?
Harga diri atau ’Self Esteem’ menurut Maslow merupakan kebutuhan manusia yang menempati posisi keempat dalam bangunan hierarkinya. Ini menunjukkan bahwa inilah kebutuhan manusia yang cukup tinggi setelah kebutuhannya akan rasa aman dan rasa cinta. Tetapi kembali pertanyaan yang sama: ”Betulkah kita sudah memiliki harga diri?”
Sederhananya begini, kebutuhan dasar menurut Maslow adalah kebutuhan fisik. Jika kita sudah mendapatkan makanan apakah kemudian kita sudah bebas akan kebutuhan ini? Tentu saja tidak. Hari ini mungkin kita tidak lagi butuh makan, karena kita sudah makan. Tetapi besok hari, kebutuhan ini akan muncul lagi, begitu juga dengan keesokan harinya lagi. Kita tidak pernah betul-betul memenuhi kebutuhan kita akan makan. Padahal kebutuhan ini adalah kebutuhan paling dasar, apakah kemudian kita tidak maju-maju dan menginjak pada level kebutuhan kita yang berikutnya yaitu rasa aman? Dan bagaimana dengan cinta? Apakah kita betul-betul tidak pernah memiliki cinta?

Saya mencintai kamu. Kata ‘cinta’ disini merupakan kata kerja yang menunjukkan bahwa saya mau melakukan cinta terhadap kamu. Maka cinta di sini bukanlah dimiliki melainkan dilakukan. Kata cinta itu sendiri juga memiliki banyak konsekwensi dari keluarnya statement ini. Aku mencintai kamu, berarti aku mau melakukan..., ...., ... .

Salah kaprahnya adalah banyak orang menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang dimiliki seseorang. Inilah yang kemudian membuat banyak orang merasa sakit ketika orang yang dicintainya pergi, ketika ia dikhianati, ketika ia kehilangan apa yang dianggapnya sebagai cinta. Apa yang salah jika orang yang kita cintai ternyata lebih menyintai orang lain? Apakah kemudian kita tidak bisa lagi menyintainya? Tentu tidak. Kita masih tetap dapat melakukan banyak hal sebagai wujud cinta kita terhadapnya.
Tetapi kemudian kita berpikir, “tetapi aku tidak akan mendapatkan dirinya, lantas buat apa?”
Itu berarti bukan lagi cinta, melainkan ego yang berbicara. Aku cinta dia, agar diapun menyintai saya. Saya mau melakukan banyak hal untuknya sebagai wujud cinta saya, agar saya juga mendapatkan banyak hal sebagai gantinya. Bukankah ini hanyalah ajang perdagangan yang memperdagangkan cinta?

Ego tidak salah, tetapi sering tidak kita sadari. Ego mengidentikkan diri dengan kepemilikan. Jika kita memiliki banyak maka tanpa sadar Ego kita pun semakin besar. Jika kita tidak menyadari perilaku dan sikap kita maka kita bukanlah diri kita sepenuhnya.

The Joy of Being – Nikmatnya menjadi Diri Sendiri
Suatu saat ketika sedang merasakan sesuatu, tanyakan kepada diri kita apakah kita memang benar-benar merasakan apa yang kita rasakan, 
atau sebetulnya itu adalah apa yang kita pikirkan.

Jika kita pernah bertemu dengan seseorang yang mirip dengan seseorang pada masa lalu kita, seringkali muncul ’perasaan suka atau tidak suka’ terhadap orang tersebut. Padahal kita baru saja bertemu dengan orang ini. Terkadang bahkan kita tidak tahu alasan kita memiliki ‘perasaan’ tersebut. Coba perhatikan bahwa aku memberi tanda petik pada kata perasaan, karena sebetulnya itu bukanlah suara perasaan. Itu adalah suara pikiran kita. Kita seringkali tanpa sadar melekatkan pengalaman pribadi kita pada situasi atau orang tertentu. Orang yang baru saja kita temui ini mirip dengan seseorang yang memberikan pengalaman menyenangkan, maka kemudian tanpa sadar kita memberinya ’label’ bahwa orang ini adalah orang yang menyenangkan. Tanpa kita sadari bahwa yang kita sukai adalah apa yang kita pikirkan mengenai penampilan orang ini.

Hal yang sama juga terjadi jika orang yang baru ini mirip dengan seseorang yang dulunya pernah sangat menyakiti perasaan kita. Coba perhatikan bahwa tanpa sadar kita menempatkan perasaan sakit hati kita pada orang ini. Kita menjadi seolah-olah merasa bahwa ia betul-betul adalah orang yang tidak menyenangkan. Kasihan sekali bukan? Hanya karena ia mirip, bukan berarti ia sama dengan orang di masa lalu kita.
Ketika kita berpikiran bahwa dia adalah orang yang tidak menyenangkan, hal itu membuat kita berperilaku seperti kepada orang yang tidak kita sukai, alias perilaku yang tidak menyenangkan, maka orang tersebut pun akan bereaksi demikian, dan begitu seterusnya, kita betul-betul meyakini bahwa orang ini adalah betul-betul orang yang tidak menyenangkan.

Wow..Dan kita bersyukur bahwa kita merasa memiliki intuisi yang tajam yang mengetahui secara persis mengenai sifat dan sikap orang ’baru’ ini. Panjang sekali bukan perjalanan hubungan ini, tanpa kita sadari bahwa sesungguhnya yang kita rasa, bukan betul-betul yang kita rasa melainkan apa yang sebetulnya kita pikirkan.

Maka mulai sekarang menjadi sadarlah, Lia.
Sadari bahwa semua perasaan takutmu bukanlah ketakutanmu, melainkan ketakutan egomu.
Kamu tetaplah akan menjadi seorang Lia, dengan ataupun tanpa kekhawatiran-kekhawatiran itu. Selanjutnya, biarlah mengalir dan terbukalah pada segala kemungkinan yang terjadi.
Bangunlah, ketika kamu memang perlu bangun untuk melakukan aktivitas yang kamu pilih untuk lakukan.
Pilihlah baju yang akan membuat kamu nyaman dan percaya diri.
Berbeloklah ketika kamu memang mau pergi ke suatu tempat di salah satu ruas jalan.
Berhentilah ketika kamu lelah.


Intinya, mengalirlah dan menjadi merdekalah. 

#catatan_akhir_tahun_saiasilia_2017


***

Jumat, 08 Desember 2017

2017, menuju 2018

Haloo, apa kabar tahun 2017?
Tidak terasa sudah (hampir) satu tahun, dua belas bulan, 54 minggu, 366 hari sudah (hampir) terlewati.
Tinggal sisa 3 minggu lagi, atau 21 hari lagi menjelang tahun yang baru.

Saya bukan tipe orang yang senang membuat resolusi. Tetapi tahun ini rasanya saya perlu sedikit menoleh ke belakang untuk mengevaluasi dan belajar untuk perkembangan diri saya pribadi di tahun yang akan datang.

Peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi di tahun 2017? Yuk, mari kita lihat kembali.

Ternyata, setelah saya mengintip dapur blog ini, tulisan pertama di tahun 2017 adalah di bulan April, tepatnya tanggal 22. Hehee, ini mah sudah hampir masuk di bulan ke-lima. Itupun masih dalam bentuk draft karena belum di-publish 😉 hihiii, ini kebiasaan buruk saya memang. Banyak menulis, tidak ada yang dipublish. Bukan karena tidak selesai, lebih karena tidak PD. Penyakit.
Tapi baiklah, setelah saya sadari, saya terima, maka saatnya saya menikmati dan syukuri. #sadarisyukurinikmati

Oh, tapi ada tulisan yang mengangkat refleksi tahun 2016. (lihat di sini)

Oke, mari kita membuat sub-judul yang sama, agar terasa aliran idenya.

1. Sepuluh (10) Hal yang perlu disyukuri tahun 2017 
- Semakin mantap dengan karir yang sedang dijalani. Menjadi psikolog, therapist, trainer, facilitator, counselor, meditator, kinesiolog.
- Semakin banyak keterampilan dan perkembangan profesional yang dirasakan baik untuk diri sendiri, maupun untuk orang lain.
- Semakin banyak kesempatan terbuka untuk perkembangan dan pengembangan personal maupun profesional.
- Rejeki makin mengalir dari banyak pintu di semua arah (#eciee..)
- Keluarga sehat semua. Atha sudah umur 5 tahun, Papa sehat (meskipun masih terpisah jarak), Eyang sehat di Malang, Mama sehat (meskipun perlu ada beberapa penyesuaian terkait penyerapan energi ketika praktik), Umi juga baik-baik saja. Puji Tuhan.
- Uang pendidikan di Asuransi Pendidikan sudah keluar untuk anak masuk SMA. Hahaaa... ini ada ceritanya, ketika saya masih single (dan sedang jomblo), tidak punya pacar, tapi sok yakin ikutan asuransi pendidikan anak. Ya begini jadinya, anak sendiri masih umur 5 tahun, tapi asuransi pendidikan sudah untuk memasukkan anak di tingkat pendidikan SMA. 😆
- Beberapa tagihan cicilan (yang terbesar) akhirnya lunasss... Puji Tuhan. Starting to earn more money from the money I have now. 👌👍👊💞∞⧝
- Beberapa terapi yang pernah saya jalani, mulai terasa manfaatnya sekarang. (the energy flow which help me allign with the Source. Make me easier to deal with frustration, able to forgive, start to have my personal voice, starting to feel the energy of creation, being steady on the ground). Thank you.. Thank you.. Thank you..
- Some of the professional courses I have been participating in and practicing it in my own cases, start to be able to be shared. For example: How to live mindful, How to be centered and balanced, How to integrate body in learning.
- Buku suami terbit (Penelitian Fenomenologis), hahaaa.. bukan hasil karyaku tapi, paling tidak ada andilku-lah sebagai isteri yang siap dicuekin kalau pas beliaunya lagi menulis... itu kan bisa dibilang kontribusi juga tho. Paling tidak keluarga La Kahija mensyukuri ini. PUJI TUHAN.

2. Pengalaman luar biasa di tahun 2017
Tahun 2017 ini pertama kalinya aku mulai mengajarkan kelas meditasi dan ini kelas sharing berbayar. Baiklah, ayo kita mulai serius belajar dan mengorganisir-nya.

3. Pembelajaran/ Hikmah sepanjang tahun 2017
Bulan September dan Oktober merupakan bulan kesehatan mental. Dimulai di tanggal 10 September Hari Pencegahan Bunuh Diri Dunia (World Suicide Prevention Day), sampai Hari Kesehatan Mental Sedunia di tanggal 10 Oktober.
Tahun ini, sengaja membuat janji dalam diri untuk mulai mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental di dalam Sosial Media pribadi. Jadi selama 30 hari, iG: @saiasilia menuliskan artikel singkat mengenai pentingnya memberi perhatian lebih pada kesehatan mental. Belum apa-apa sih dibandingkan banyak orang lain, tapi ini merupakan kemenangan pribadi buat saya. Buat orang introvert yang tidak terlalu nyaman dan tidak terlalu suka mengumbar hasil pikiran, hasil refleksi pribadi ke ranah publik, yang sudah saya lakukan cukup membanggakan (sekali lagi ya, ini untuk saya pribadi... yippiiii, prok prok prok Good Job 👌✌).

4. Tantangan 2016 yang sudah terlampaui di tahun 2017?
Pindah rumah? 
Resign dari kantor?
Kerja dari rumah?
Punya bisnis baru? (👌✓)

Dari empat hal di atas, yang sudah dijalankan baru no.4, "Punya bisnis baru." Iya, tahun 2017 moment Samatha Center akan re-launching. Semoga dapat terus jalan yah. Bisa berbagi, bisa memberikan kontribusi untuk sekitar dan masyarakat. Semoga, amin.

5. Tantangan/ Target Pencapaian untuk 2018?
Jika tahun 2016 adalah Tahun Pangilan bagiku,
maka tahun 2017 adalah Tahun Penjajagan.
dan tahun 2018 ingin kujadikan sebagai Tahun Kriya, atau Tahun Berkarya.
Aku ingin bisa memaksimalkan apa yang bisa aku buat, apa yang bisa aku lakukan, apa yang bisa aku sumbangkan, apa yang dapat aku tinggalkan untuk kebaikan dunia, sebelum aku dipanggil kembali. Sebelum masa tugasku berakhir 💫😉.

Catatan akhir tahun 2018 yang saya inginkan adalah kegiatan apa saja yang sudah saya lakukan.
Training? Fasilitasi? Meditasi? MBL? Mindfulnes?
Konseling?
Konsultasi Psikologis?
Movement Based Learning?
Samatha Center? Rumah Samatha? Samatha Press?

Touch For Healing?
Shiatsu?
Dua kegiatan ini pingin saya pelajari dan kembangkan menjadi salah satu layanan.


***

Dec 2017 (3 minggu menjelang pergantian tahun)


***

Jumat, 02 Juni 2017

Daftar Konversi Alat Ukur Memasak

Berhubung barusan bikin kue, dan merasakan keribetan karena harus menakar ukuran kecil. Akhirnya dapat daftar konversi alat ukur dalam memasak. 
Nah, buat yang pingin tambah simple dengan takaran dalam memasak. 
Daftar konversi alat ukur (yang banyak digunakan dalam memasak):
Takaran Umum
1 cc = 1 ml
1 cangkir = 250 ml (8 oz)
1 sendok teh = 5 cc
1 sendok makan = 15 cc = 3 sendok teh
1 gelas = 24 sendok makan = 240 ml
1 kg = 10 ons = 2 pon
Takaran Sendok Makan
1 sendok makan air = 15 gram
1 sendok makan tepung jagung = 15 gram
1 sendok makan gula merah = 15 gram
1 sendok makan garam = 10 gram
1 sendok makan gula pasir = 20 gram
1 sendok makan coklat bubuk = 7 gram
1 sendok makan minyak goreng, margarin = 10 gram
1 sendok makan tepung susu = 5 gram
1 sendok makan tepung beras = 15 gram
1 sendok makan tepung maizena = 12 gram
1 seodok makan tepung tapioka = 15 gram
1 sendok makan tepung jagung = 15 gram
1 sendok makan tepung ketan = 15 gram
Takaran Ukuran Gelas
1 Gelas tepung terigu = 130 gram
1 Gelas Gula Pasir = 230 gram
1 Gelas gula bubuk = 180 gram
1 Gelas Mentega = 210 gram
Takaran Untuk Bahan Cair
1 Liter = 1000cc = 1000ml
1 Cup = 20cc = 250ml
1 Sendok makan = 15cc = 15ml
1 Sendok Teh = 5cc = 5ml
Takaran Ukuran Cup / Cangkir
1 cup tepung terigu = 140 gram
1 cup gula pasir = 225 gram
1 cup gula halus = 160 gram
1 cup gula palem = 140 gram
1 cup maizena = 125 gram
1 cup sagu/kanji = 125 gram
1 cup tepung beras = 110 gram
1 cup tepung roti = 115 gram
1 cup almond bubuk = 170 gram
1 cup kismis = 190 gram
1 cup kenari cincang = 150 gram
1 cup mete cincang = 160 gram
1 cup havermut = 90 gram
1 cup margarine = 200 gram
1 cup minyak goreng = 220 gram
1 cup coklat bubuk = 112 gram
1 cup gula merah padat = 200 gram

***

#Resep PROL TAPE

Malam ini, pingin coba resep prol tape sederhana, resep dari INSTAGRAM. Resep ini sudah lama sih dapetnya, tapi beneran serius bacanya ya baru pas mau buat..
Biar gak kemana-mana, taruh sekalian simpen resep di sini lah. 

RESEP PROL TAPE (SIMPLE, NO MIXER NO RIBET) 
by @corygrahani
400gr tape singkong (lembutkan)
60gr gula pasir
50gr keju cheddar parut
2butir telur (kocok asal)
60gr tepung terigu
80ml santan kental
30gr mentega (cairkan)
1/2 sdt essence vanilla
sejumput garam

Taburan:
keju cheddar parut
kismis/ chocochips

Cara buat:
- Campur halusan tape, gula pasir, keju parut, aduk rata. Tambahkan telur dan santan, aduk rata kembali. Masukkan terigu dengan ayakan (agar tidak menggumpal). Masukkan essens vanila, garam, aduk kembali. Terakhir masukkan mentega cair, aduk rata kembali. 
- tuang ke loyang yang sudah diolesi minyak/ mentega. 
- panggang selama +/- 30 menit 


Penampakan .. lumayan.. tapenya terasa banget. 

Not bad lah buat amatiran..

Apalagi kalau serumah doyan.. penghargaan tertinggi tuh.. 









***


Minggu, 07 Mei 2017

Belajar, Pendidikan dan Sekolah




Hampir setiap minggu, Atha berenang di Cibubur. Memang terbukti kesaktian si "Naga Air" ini. Bayangkan sejak umur 3 tahun dia sudah berani masuk di kolam renang dalam tanpa ban.

Bukannya tanpa usaha lho.. Bahkan usaha ini melibatkan dua pihak, si anak dan kami orangtuanya. Usaha yang dilakukan si anak, tentu saja untuk memunculkan keberanian dan keinginannya mencoba. Sedangkan usaha yang kami lakukan sebagai orangtua adalah menahan diri kami. Kami sadar harus menyerahkan prosesnya kepada si anak.. Kapan dia mau, kapan dia coba, kapan dia takut, kapan dia lelah, kapan dia mau coba lagi, kapan dia mau coba yang lebih sulit dari sebelumnya, kapan dia merasa yakin dan mau mencoba tantangan yang lebih tinggi, dst.

Orangtua seringkali tidak sadar bahwa dia sedang mengambil alih peran tanggungjawab anak untuk belajar. Ketidaksadaran ini muncul pada orangtua yang merasa perlu memaksa atau mendorong anak dalam proses belajarnya. Bisa jadi mereka merasa si anak tidak akan mau belajar jika tidak ada dorongan motivasi dari orangtuanya. Namun demikian, perlu dipikirkan akibat negatif jangka panjang pemaksaan ini bagi anak. Perlu disadari bahwa anak akan menjadi tidak terlatih untuk mendengarkan dirinya sendiri. Mereka juga tidak lagi terbiasa untuk memiliki dorongan keingintahuan terhadap sesuatu.

Secara naluriah, semua anak sebetulnya memiliki keinginan yang sangat besar untuk belajar. Tidak ada satupun anak yang tidak suka belajar. Tidak ada satupun anak (normal) yang tidak punya keingintahuan. Semua ingin mereka ketahui, semua ingin mereka lihat, ingin mereka pegang, ingin mereka dengar, ingin mereka buat, ingin mereka lakukan. Semuanya.
Lihat saja bagaimana mereka bermain. Mereka akan mencobakan ide-idenya. Bagi kita yang sudah dewasa dan lupa rasanya menjadi anak, terkadang sulit melihat usaha coba-coba ini sebagai sebuah kerja keras bagi anak. Padahal menurut saya, pada saat inilah peran belajar mandiri dapat ditumbuhkan.
Ini sesuai yang dikatakan Piaget mengenai proses belajar anak dengan membangun pemahaman dan skema pengetahuan di kepalanya (ide constructivist). Piaget menelurkan teori belajar dari hasil pengamatannya terhadap perkembangan kemampuan berpikir anaknya sendiri. 
Ide constructivist dari Piaget menjelaskan bahwa setiap anak menunjukkan kemampuan mereka membangun pemahaman sesuai dengan tahapan perkembangannya.  

Ini menunjukkan bahwa belajar merupakan hal yang alamiah. Nah, sekarang bagaimana dengan istilah pendidikan (education). Menurut KBBI daring,

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.

Maurice Craft, seorang Research Professor di Universitas Greenwich membuat pembedaan istilah Education [Pendidikan] (dalam Bass & Good, 2004).
Di dalam bukunya "Education for Diversity", Craft menjelaskan istilah Education yang dapat berasal dari kata:
educareto trainto mold [untuk melatih dan membentuk], dan
educereto lead out [untuk mengeluarkan (potensi, kemampuan, dan daya upaya)]

Mari kita mulai membahas lebih lanjut mengenai kedua istilah tersebut.
Menurut Craft istilah pertama, Educare memiliki konsekuensi arti (dalam Bass & Good, 2004). Artinya, belajar adalah untuk mempertahankan dan menurunkan pengetahuan dalam rangka membentuk anak sesuai dengan gambaran ideal orangtua. Dengan demikian, penekanan pada hasil menjadi konsekuensi memenuhi gambaran ideal orangtua. Akibatnya usaha-usaha belajar yang sekiranya akan memberikan hasil nilai yang bagus akan sangat dihargai orangtua. Mengikuti les tambahan, ikut try out ujian, menuntut anak belajar, dst.
Tampaknya pemahaman educare inilah yang terwakili dalam pengertian pendidikan dalam KBBI daring. 

Istilah kedua Educere, adalah istilah yang berarti 'untuk mengeluarkan (potensi, kemampuan dan daya upaya, red)'. Pandangan educere ini peduli pada usaha mempersiapkan anak terhadap perubahan-perubahan yang selalu terjadi, memberikan kesempatan pada anak untuk belajar memecahkan masalah-masalah real yang kontekstual (yang belum terjadi dan mungkin bahkan belum diketahui). Dengan demikian, anak diharapkan dalam proses belajarnya banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan, baik pertanyaan reflektif maupun responsif terkait dengan sebuah masalah. Selain itu anak juga diharapkan memiliki kemandirian dalam berpikir dan berpendapat. Mereka dituntut untuk membangun logika berpikir yang terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan. Satu lagi, karena mereka disiapkan untuk siap di masa depannya, maka proses penciptaan dan kreasi pun tak luput menjadi penekanan.

Nah, kalau semua potensi, kemampuan, keinginan, daya upaya sudah ada dalam diri anak, lalu apa yang perlu dilakukan orangtua, dong? Lalu apa peran orangtua sebagai pendidik?

Jika di atas kita sudah membahas mengenai ide konstruktivistik dari Piaget, maka kita dapat membahasnya dengan ide konstruktivistik yang lain. Piaget percaya bahwa pengetahuan, pemahaman, keterampilan, kebisaan dapat dibangun dari diri individu anak sendiri.
Vygotsky (seorang psikolog Rusia) menambahkan bahwa ada area yang hanya dapat dicapai, jika anak 'dibantu' oleh orang lain yang lebih paham [more knowledge others]. Area perkembangan optimal (Zone of Proximal Development) anak dapat dicapai jika ada oranglain yang bersedia memberikan pendampingan, pembimbingan, dan penyertaan, terhadap anak.

Lalu apa syarat agar tercapai kemampuan optimal anak pada area ZPD? 
MKO atau orang yang lebih paham dapat menerapkan sistem perancahan (scaffolding). Mirip seperti ketika membangun, kita membutuhkan 'bingkai pijakan' tempat bangunan dikerjakan. 

a house under construction

Jika pijakan dibutuhkan untuk proses pembangunan, maka sama dengan peran MKO adalah untuk membantu anak membangun sendiri 'bangunan pemahamannya'. Pendidikan semestinya mengutamakan proses yang dilewati anak, ketimbang proses yang dilewati MKO. MKO disini bisa orangtua, bisa guru, bisa teman-teman yang sudah paham. Bukan, bukan untuk mereka semua..

Mari kita lihat kembali definisi pendidikan dari KBBI. Di situ dapat ditinjau bahwa upaya dan usaha pendidikan ditempatkan pada MKO. "...upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik." Dari tinjauan tersebut, kita bisa lihat bahwa definisi ini mengacu pada istilah pendidikan, educare, ketimbang educere; melatih dan membentuk, ketimbang mengeluarkan potensi anak. Meskipun demikian, Bass & Good meyakini perlunya keseimbangan penerapan educare dan educere dalam setiap aspek pendidikan formal anak. 

Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah (rasanya) masih belum menjadi tempat belajar yang ideal. Para pendidik di sekolah masih berkutat pada bagaimana meningkatkan nilai-nilai ataupun kecepatan studi ketimbang memperhatikan pada proses educere. Sejarah sudah begitu banyak menunjukkan bahwa banyak dari orang sukses yang berhasil di masa tua padahal tidak berhasil di sekolahnya. Sebut saja Isaac Newton (penemu), Albert Einstein (ilmuwan), Michael Jordan (atlet Basket), Oprah Winfrey (pembawa acara), Walt Disney (pembangun brand Disney), Steve Jobs (pendiri Apple & Pixar), atau dari dalam negeri Bob Sadino (pengusaha), 

Jika begitu banyak orang sukses yang gagal di sekolah, jangan-jangan sekolah yang tidak mampu melihat kelebihan orang-orang ini. Bisa dipahami karena memang konsep educare yang menjadi pegangan institusi pendidikan formal saat ini. 
Saya bukannya anti sekolah. Sama sekali tidak. Tentu saja tidak. Saya adalah bagian dari hasil pendidikan saya di sekolah. Hanya saja, pendidikan anak, menjadi prioritas saya sebagai orangtua, Filosofi pendidikan dalam keluarga seperti apa yang sekiranya akan mengeluarkan potensi terbaiknya. Dengan demikian, artinya konsep educere menjadi kiblat saya. 

Bass & Good (2004) menjelaskan dalam artikelnya bahwa anak yang bersekolah hanya untuk lulus tes tidak betul-betul siap menghadapi tantangan perubahan dunia. Dalam artikel tersebut juga dijelaskan bahwa keseimbangan peran educare dan educere sangat penting. Peran guru sebagai fasilitator bagi terjadinya proses belajar anak di sekolah perlu diberikan peran dan kebebasan yang cukup. Perubahan mindset dari mementingkan nilai menjadi mementingkan proses belajar perlu ditumbukan dalam diri guru. 

Idealnya seluruh stakeholder pendidikan dan proses belajar anak ikut serta terlibat. Maka, selain perubahan dalam intitusi sekolah dan guru, mindset ini pun perlu dimiliki oleh institusi keluarga dan orangtua sebagai lembaga pendidikan non-formal. Orangtua perlu memahami bagaimana anaknya belajar, apa yang disukai anak, apa yang diminati dan menjadi bakatnya. 

Untuk dapat menyeimbangkan peran kedua konsep education, maka dibutuhkan keterbukaan. Komunikasi dan pemahaman mengenai apa yang sedang dipelajari anak dapat menyumbang pada terjadinya keseimbangan. Selama anak tidak diberikan porsi mengambil keputusan, memilih, menimbang, menguji coba, coba salah, coba berhasil, coba gagal, coba lagi, coba lagi, maka proses belajar (sejatinya) tidak terjadi. 


***


Referensi:

Bass, R.V & Good, J.W. (2004). Educare and Educere: Is a Balance Possible in the Educational System? Educational Forum, The, Vol.68; No.2; p161-168; Winter 2004. (retrieved: https://eric.ed.gov/?id=EJ724880, May 2017)


Minggu, 30 April 2017

B.e.r.s.y.u.k.u.r #edisiMudik36jam

Sebagai Homo Religius atau mahluk beragama, tentu saja saya meyakini kehendak Sang Pencipta sebagai rencana terindah. Tentunya tanpa melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai pengambil keputusan lo ya.. Tetapi meskipun demikian bahkan saya meyakini bahwa keputusan saya tidak betul-betul lepas dari keinginan-Nya mengarahkan hidup saya. Amin.

Sampai saat ini sudah begitu buanyaaaaak sekali rahmat dan berkat yang sudah Allah berikan dalam hidup saya, sehingga rasanya tidak cukup hanya mengucap syukur dalam doa-doa. Saya ingin membagikannya kepada banyak orang. Mungkin supaya semakin banyak berkat yang diberikan-Nya buat saya yah.. hehee... Amiiin.

Lebaran tahun 2016 merupakan hari Raya yang cukup berkesan buat saya hingga hari ini. Pembukaan exit tol baru Brebes Timur sempat menggoda kami untuk mencobanya. Bayangkan saja, betapa kurang isengnya kami, merayakan lebaran juga enggak, butuh silaturahmi ke keluarga yang merayakan juga enggak, nah kan..

"eh, Ma.. tol baru sudah dibuka lho, di Brebes.. wuaah, perjalanan kita bisa lebih cepat niih", ujar si papa.
"Ayook, kita jalan ke Semarang, yook.. sambil nyoba tol baru..", tambah semangat dia...

Berhubung lebaran tahun itu jatuh di hari Rabu dan Kamis, dan pemerinta berbaik hati mengurangi jatah cuti kita dengan menetapkan cuti bersama di hari Senin, Rabu dan Jumat, maka praktis kita memiliki hari libur satu minggu.
Nah, gambling dimulai di sini.. Kapan kita mulai jalan? Di hari Kamis, seminggu sebelumnyakah? hari Jumat? atau Justru mendekati hari Minggu? dengan harapan jalur mudik akan terbagi rata ramainya karena panjangnya waktu libur sebelum lebaran. Silly me...!! It never happen... Si Papa sibuk mengikuti berita jalur mudik di televisi, dan bilang kalau jalur mudik lancar jaya. Tanpa kami berpikir bahwa bersamaan dengan itu 13 juta orang berpikir hal yang sama.. (http://www.dephub.go.id/welcome/readPost/badan-litbang-kemenhub-prediksi-25-juta-orang-akan-mudik-tahun-ini)

Daan, terjadilah yang harus terjadi, haahahaaa.. M.A.C.E.T.
Bahkan semua berita nasional memberitakan kondisi macet yang dikategorikan sebagai macet mudik terparah.
http://regional.kompas.com/read/2016/07/04/13524671/.ini.luar.biasa.macetnya.ini.mudik.paling.parah.
http://www.viva.co.id/ramadan2016/read/796250-macet-mudik-lebaran-2016-mabes-polri-minta-maaf
https://news.hargatop.com/2016/07/01/berita-info-jalur-mudik-lebaran-2016-sore-ini-macet-parah-di-exit-gt-brebes-timur-jalur-pantura-lancar/4127332.html

Perjalanan dimulai Sabtu, 2 Juli 2016 dini hari.. Dengan semangat 45, kami mulai berjalan. Sangaaat optimis bahwa perjalanan akan lancar.. yaiyalah, kalau baru mulai jalan saja sudah loyo, bagaimana selanjutnya, ya gak.. Maka kami mulai perjalanan dengan doa dan semangat.

Google Maps mulai menunjukkan keperkasaannya... Setelah setengah jam perjalanan, Dia menyuruh kami keluar dari tol cikampek dan menyusuri jalan biasa. Kami ikuti saja.. Saat itu di HP tertera waktu perjalanan akan berlangsung selama kurang lebih 8 jam. Makin optimislah kami... 461, 7 km ditempuh dalam 8 jam seperti perjalanan-perjalanan normal kami sebelumnya.

Selang satu jam berikutnya kami menyusuri Karawang Barat, lalu Karawang Timur melalui jalur biasa. Jalur memang tidak macet, tetapi tidak selancar perjalanan kami sebelumnya. Kami cek lagi, waktu tempuh perjalanan, anehnya masih tetap 8 jam.. Kenapa tidak berkurang juga? [sekarang saya paham, itu terjadi karena dari seluruh jalur yang akan kami tempuh, kepadatan kendaraan sudah menuju titik jalur pantura.] Ini artinya kami berkompetisi dengan ribuan kendaraan yang sedang menuju arah yang sama..

Sampai jam 7 malam, kami bahkan masih belum sampai Tegal. Berarti sudah 16 jam kami di jalan. Yang perlu disyukuri adalah, baik papa Atha, Atha maupun mamanya berada dalam kondisi psikhis yang sangat baik. Kami bisa menyikapi perjalanan ini dengan sangat positif. Anaknya bahkan masih bisa bercanda-canda. Heheee... bayangkan saja, kalau yang terjadi sebaliknya.. Haduuuh.. lelah lahir batin dong..

Malam hari itu, pikiran-pikiran ingin lepas dari situasi macetpun muncul. Dari yang ingin belok ke jalur selatan, ingin mampir ke Wonosobo, sampai ingin menginap dulu di jalan. Tidak semuanya ingin diseriusi. Yaiya, karena ini hanya pikiran nakal yang muncul untuk melepaskan diri.
Perjalanan padat di jalur pantura, membuat papa Atha berniat belok melewati jalur Selatan. Analisisnya jalur Selatan tidak akan sepadat jalur yang sedang dilewati. Tapi ternyata masuk ke jalur selatan dari jalur utara ketika waktu mudik, tidaklah mudah. Semua jalur tertutup. Tapi dasarnya BEJO, ada satu waktu, kami justru diarahkan ke jalur selatan.

Setelah akhirnya berhasil masuk di jalur selatan, kami melewati jembatan yang melintasi jalan tol Pantura yang macet total. Di situ kami merasa sangaaat bersyukur. Jam 09.00 malam itu, rasa syukur kami rayakan dengan makan bakso.

Ternyata jalur selatan tidak seindah yang dibayangkan. Kami tetap berkutat dengan macet di mana-mana. Bahkan bahan bakar mobil yang mulai tiris mau tidak mau memaksa untuk berhenti dan menginap di POM Bensin.
Jam 00.30 kami sampai di POM Bensin yang ketiga (karena di kedua stasiun pengisian yang sebelumnya, kami kehabisan bensin dan pada saat itu, masih berpikir bahwa siapa tahu POM yang berikutnya masih ada bensin. Tapi kembali lagi, kami lupa kalau kami bersaing dengan begitu banyak kendaraan dengan kondisi yang mirip).
Beritanya di sini:
http://ramadhan.kompas.com/article/read/2016/07/04/22543131/terjebak.macet.pemudik.terpaksa.beli.bensin.eceran.rp.50.000.per.liter

Oke.. kembali ke POM Bensin yang ketiga ini. Kami sempat bingung dengan situasinya. Banyak orang, banyak kendaraan mengantri, tetapi tidak ada transaksi apa-apa, malah banyak orang yang tidur-tiduran di situ. Suami sempat ragu tetapi tetap memasukkan mobil ke dalam POM Bensin.
Setelah ditanyakan, ternyata tanki pengisi bahan bakar masih di jalan, sudah jalan sejak jam 4 sore dan belum tiba juga jam 12 malam. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu, mengantri, sambil beristirahat. Karena tidak mungkin juga bisa berjalan jauh dengan kondisi bahan bakar kritis begini.

Bergantian dengan papa Atha untuk menemani anaknya yang mulai eksplorasi, kami mencoba menikmati tempat sambil beristirahat. Tidak terasa lama, sekitar jam 6.30 pagi, tanki pengisian bahan bakar sudah tiba.. Puji Tuhan..

Setelah melewati situasi 'mulur' dan 'mungkret', istilah yang dipakai Ki Suryomentaram untuk menggambarkan suasana hati senang dan susah. Suasana hati senang (bungah) dan susah akan terus muncul silih berganti dalam setiap peristiwa hidup kita. Maka setelah pengisian bahan bakar, rasanya bungah hati.. senang.. (etapiii, siap-siap susah lagi yaa..!).
Menurut Ki Suryomentaram, Jika bungah dan susah dipahami sebagai sebuah proses yang alami, maka tidak ada yang namanya penyesalan. Semua lewat begitu saja. "Bungah, yo bungaho" (senang yang silakan senang saja), "nek susah, yo diwasno" (jika susah ya diamati saja).

Jika sekarang dibayangkan, maka perjalanan 36 jam itu rasanya beraaat sekali. Engganlah jika disuruh mengulangi kembali. Bayangkan saja, perjalanan panjang itu harus dilewati dengan kondisi AC mobil yang trouble. Hadeeeuh.. gak kurang-kurangnya cobaan dan tantangan hidup kami kaan...

Tapiiiii, dengan segala halangan dan kesulitan di atas, keajaiban yang kami temui juga buaanyaaaak sekali. (#count_the_blessings)
- Sebut saja ditunjukkan jalan oleh orang tidak dikenal, melewati sawah dan perumahan, bahkan dia sempat menyingkirkan halangan di tengah jalan. Tapi tiba-tiba di ujung jalan orang tersebut menghilang.
- Masuk di POM bensin yang antriannya sudah mengular, tetapi karena ketidaktahuan kami, malah kami masuk di antrian depan.
- Ketika kami berniat melewati jalur selatan, tetiba ada peluang dan arahan untuk menuju ke sana.
- Dari antrian yang panjang, tau-tau ada 4-5 anak usia SMP menyuruh kami mengambil belokan untuk sampai di tempat di depan kami.
- Ditunjukkan jalan alternatif oleh penduduk setempat, tetapi karena sepi tidak ada yang melewati maka sempat bingung lewat mana. Tetiba, muncul angkot dan ketika kita tanyakan arah, dia minta kita mengikutinya.

Kalau bukan malaikat, saya gak tahu lagi menyebutnya dengan apa... Semua mereka ini adalah malaikat penjaga kami sekeluarga.
Maka tak henti-henti kami mengucap syukur pada Tuhan. Puji Tuhan.

Jika Tuhan melindungi saya dan keluarga saya, maka Dia pun akan melindungi kita semua. Dia akan melindungi dan memberkati negara kita Indonesia. Tuhan tidak akan menjauh dan menutup mata dari semua peristiwa yang terjadi. Tuhan tidak akan tinggal diam.



#NKRI #BerkahAllah #PerlindunganAllah #PenyelenggaraahIlahi


***










Sabtu, 22 April 2017

Kebahagiaanmu adalah TanggungJawabmu sendiri


"Berhentilah mengharapkan orang lain membuatmu bahagia. Kamu hanya akan menantinya seumur hidupmu dan kecewa" (Jeff Foster).






 

Image result for jeff foster quotes
Just be happy, because nothing can make you happy.

Kutipan di atas memang sangat relevan. Saat ini ketika semua hal terasa sangat cepat, instan dan mudah diperoleh, justru sebetulnya menjauhkan kita pada hal yang esensial, hal yang justru penting dan kita butuhkan untuk dapat bahagia.

Para ilmuwan psikologi barat sudah merumuskan teori-teori mengenai kebahagiaan. Bapak Abe (Abraham Maslow) menyebutkan lima tangga kebutuhan yang dapat mengarahkan seseorang mencapai kebahagiaan. Dia mengatakan: "What a man can be, he must be." Apapun yang diinginkan seseorang untuk dia capai, pasti dapat dicapainya. Itulah yang dinamakan Aktualisasi Diri, level tertinggi dalam tangga kebutuhan Maslow.

Teori hierarki kebutuhan ini memang tidak keliru dalam mendefinisikan kebahagiaan, jika dilihat dalam konteks kepuasan hidup. Coba saja perhatikan kata: 'Apapun yang diinginkan seseorang...'

Berkaitan dengan filsafat Plato yang mengatakan bahwa Soul (Jiwa) terbagi menjadi tiga bagian, logistikon (logika), thymoeides (spirit) dan epithymetikon (appetite/ desire). Maka kebahagiaan jiwa terkait dengan terpenuhinya keinginan menjadi hanya pemenuhan salah satu peran soul, yaitu bagian yang terkait dengan appetite atau desire.
Pertanyaan selanjutnya dari ini, 'Bagaimana jika keinginanmu tidak tercapai?'

"Tentu saja aku tidak (atau belum bisa) bahagia."

Lalu betulkah bahagia harus beralasan?
Bagaimana bayi yang baru lahir dapat merasakan bahagia? Bagaimana bisa bahagia, jika mereka belum apa-apa? Belum jadi apa-apa. Belum punya apa-apa.
Jadi kapan bahagia dapat mulai diukur?

Bagaimana menjelaskan seorang tukang koran yang selalu tersenyum ketika mengantarkan koran, sedangkan di tempat lain ada seorang bapak parlente bermobil mewah, wajahnya sering terlihat ditekuk seperti sedang berpikir keras.

Maka di sinilah pandangan barat (menurut saya) masih belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.


Maka marilah kita mulai dengan melihat kedua sudut pandang Ilmu Barat dan Timur mengenai kebahagiaan.
Pandangan Barat menganggap "More is better".
Pandangan ini melihat kebahagiaan dari apa yang sudah diperoleh,. Dan seberapa banyak perolehan itu. Sebagai contoh, pekerjaan yang bergaji besar, kedudukan yang tinggi di tempat kerja, memiliki bawahan banyak, merk jam tangan yang digunakan, berapa banyak negara yang sudah didatangi, mobil atau pemilikan lain yang memiliki spec tinggi atau siapa saja orang-orang terkenal yang sudah berfoto denganku.

Konsekwensi dari pandangan kebahagiaan ala Barat di atas, adalah Kebahagiaan berorientasi ke luar. Selalu ada alasan agar saya dapat bahagia. Misalnya saja, mendapatkan uang yang banyak dulu baru saya bisa bahagia; Bisa keliling dunia dulu, setelah itu pasti saya dapat berbahagia; atau bahkan alasan seperti Saya akan berbahagia jika sudah dapat mengajak haji orangtua saya. 
Alasan-alasan seperti ini tampaknya menjadi alasan yang tepat untuk dapat membuat orang bahagia. Tetapi jika kita ulik lagi, itu semua bukanlah essensi kebahagiaan. Jika mensyaratkan sesuatu, maka kebahagiaan justru sulit datang dan menghampiri.

Lalu bagaimana pandangan Timur memandang kebahagiaan? Mereka berprinsip "Less is better." Filosofi Timur menganggap bahwa sumber dari segala kebahagiaan sudah ada di dalam diri setiap manusia. Mereka tinggal perlu membangunkan kesadaran diri, bahwa semua kelimpahan tersebut semestinya sudah mereka miliki.

Kesadaran diri menjadi kunci bagi munculnya kebahagiaan. Maka menurut pandangan Timur, Kebahagiaan berorientasi ke dalam. Mereka percaya bahwa tidak ada satu hal pun di luar diri yang bertanggung jawab terhadap munculnya rasa bahagia. Semuanya sudah ada di dalam, semuanya sudah tersedia, tinggal sekarang sadar atau tidakkah kita untuk melihat itu semua.
Kesehatan yang cukup baik, adanya keluarga yang dapat menemani, makanan dan rejeki yang cukup, punya pekerjaan yang cukup baik, dapat bebas menuangkan pikiran dan perasaan, dapat bebas beribadah, ada rumah tempat berteduh. Itu semua semestinya sudah cukup memberikan perasaan bersyukur yang mengarah pada munculnya rasa bahagia.


***



Refleksi tahun 2016

Meskipun tahun 2017 sudah masuk di bulan ke-4 bahkan hampir tengah tahun, tidak ada salahnya untuk mulai kembali #menghitung_berkat (#count_blessings) yang sudah didapat sepanjang tahun 2016. 

1. 10 hal yang perlu disyukuri tahun lalu

Keluarga Sehat (buktinya jatah medical reimbursement masih banyaak, Puji Tuhan), Bisa jalan-jalan keluarga dengan selamat dan menyenangkan, keajaiban-keajaiban sepanjang jalan mudik 2016 (cerita lengkap di bagian lain), Atha sehat dan makin membaik reaksi alerginya, pintu rejeki terbuka lebar, Rumah Gedawang selesai renovasi dan semoga membawa berkah, kembali berkutat dengan bidang yang disukai, masih punya energi, rejeki dan semangat untuk belajar.

2. Pengalaman luar biasa di tahun 2016

Tahun 2016 bulan Januari lalu persis di tahun baru, Keluarga La Kahija akhirnya mengadakan acara syukuran selesainya pembangunan rumah di Gedawang-Semarang
Pembangunan rumah berlangsung selama kurang lebih satu tahun sejak November 2014. Begitu banyak 'cerita' selama pembangunan rumah. Dimulai dari tukang yang harus berganti sampai 3 kali, budget yang membengkak, dan pertimbangan-pertimbangan yang muncul on-the-spot di luar rencana tapi justru membawa berkah
Rumah ini ingin kami jadikan sebagai rumah sehat, atau rumah yang mampu memberikan efek healing untuk siapapun yang datang. Amin, semoga direstui Gusti. 




3. Pengalaman kurang menyenangkan di 2016

Adalah waktu dimana rasanya, sakit hatiii banget ketika dibohongi salah satu karyawan yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. 
Tapi sudahlah, semua orang punya 'paket'annya sendiri-sendiri. Setiap orang punya PRnya sendiri. Mungkin PR saya ya itu.. 

4. Pembelajaran
Tahun 2016 merupakan tahun #Panggilan_Pribadi (#my_true_calling). Saya seperti dikembalikan kepada niat awal belajar psikologi. Terimakasih kepada salah satu #mantanboskesayangan yang sudah membuka kesempatan baru ini buat saya. Peluang ini bukan saja memberikan saya excitement baru, tetapi juga mengembalikan saya pada alasan saya hidup.
Masih banyak yang harus kembali saya pelajari. Tidak apa, selama semangat saya masih meluap dan berlimpah. Karena saya yakin, yang saya lakukan menjadi kontribusi saya dan ini membawa kebaikan dan keberkahan bagi saya dan orang-orang di sekitar saya. 

5. Tantangan di tahun baru (Tahun 2017)
Pindah rumah? 
Resign dari kantor?
Kerja dari rumah?
Punya bisnis baru?

Image result for the hardest step is the first one


Semoga next chapter, udah bisa buat timeline yang pasti terkait dengan tantangan-tantangan baru itu. 


***



Article: Mari Bicara Stres

Stres bukanlah sesuatu yang sekedar 'kita lalui'.  Stres sesungguhnya adalah pengalaman fisiologis pada tubuh fisik kita. Saat ada ...